Aung San Suu Kyi |
Pewarta tribun,Salah karena terlalu berharap kepada seseorang tentu tak cuma urusan asmara, melainkan pada dimensi kehidupan lainnya. Misalnya apa yang terjadi di Myanmar dan Indonesia. Ada figur-figur, yang seharusnya menjadi tumpuan, namun nyatanya seperti mantan saya tadi, tak sesuai harapan.
Kita bisa lihat tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar. Rohingya adalah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine, Myanmar. Rohingya sendiri merupakan etno-linguistik yang terkait dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh.
Mereka merupakan etnis minoritas di Myanmar yang diperlakukan mirip imigran gelap. Konflik berdarah belakangan ini merupakan yang terparah di negeri yang dahulu bernama Burma tersebut.
Dua tahun lalu, saya salah mencintai seseorang. Saat itu, kekasih saya adalah mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas negeri di Depok sana. Setiap hari, saya bergelut mengedit dan menulis naskah skripsi miliknya.
Dua bulan kemudian, ia maju sidang skripsi dan lulus. Tiga bulan berlalu, perhatiannya tak lagi kentara. Lalu, saya diputus. Saya terpukul, tertampar, tertendang, terdepak, dan terbuang.
Ya sudah. Sepertinya saya salah terlalu berharap kepada seseorang.
Kemudian, saya kembali menjalin kasih dengan perempuan lain yang baik hati. Kembali menggantungkan janji setinggi langit, tapi nyatanya tak terbukti. Dan, akhirnya kisah asmara itu kandas.
Ya sudah. Sepertinya lagi-lagi saya salah terlalu berharap kepada seseorang.
Salah karena terlalu berharap kepada seseorang tentu tak cuma urusan asmara, melainkan pada dimensi kehidupan lainnya. Misalnya apa yang terjadi di Myanmar dan Indonesia.
Ada figur-figur, yang seharusnya menjadi tumpuan, namun nyatanya seperti mantan saya tadi, tak sesuai harapan. Kita bisa lihat tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya di Rakhine, Myanmar.
Rohingya adalah kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine, Myanmar. Rohingya sendiri merupakan etno-linguistik yang terkait dengan bahasa bangsa Indo-Arya di India dan Bangladesh.
Mereka merupakan etnis minoritas di Myanmar yang diperlakukan mirip imigran gelap. Konflik berdarah belakangan ini merupakan yang terparah di negeri yang dahulu bernama Burma tersebut.
Tragedi berdarah dimulai oleh serangan kelompok pemberontak Rohingya ke sejumlah kantor polisi dan markas tentara di Rakhine. Penyerangan itu lalu dibalas dengan operasi militer Myanmar.
Namun, bukan cuma para ‘pemberontak’ yang dibasmi. Warga sipil tak bersalah ikut terbunuh. Sekitar 400 orang tewas dalam konflik tersebut. Gelombang pengungsian pun terjadi.
Protes internasional pun menyeruak. Aung San Suu Kyi, penasihat negara Myanmar, yang juga pemimpin Myanmar secara de facto, digugat. Masyarakat dunia mengecam sikap diam Suu Kyi terhadap tragedi kemanusiaan ini.
Ia bahkan naik pitam dan sempat berkomentar bahwa publik Indonesia selalu mengganggu negaranya. “Mereka seakan lebih tahu tentang kondisi yang terjadi di sini,” kata Suu Kyi.
Sikapnya jelas tidak konsisten dan tak memiliki komitmen, seperti mantan saya. Ia seharusnya menjadi harapan, karena bergelar pejuang HAM dan demokrasi.
Suu Kyi pernah meraih penghargaan Nobel Perdamaian pada 1991 atas perjuangannya memajukan demokrasi di Myanmar, tanpa menggunakan kekerasan ketika menentang kekuasaan rezim militer.
Sikapnya yang kini terkesan cuek terhadap tragedi kemanusiaan yang menimpa etnis Rohingya juga mendapat kecaman dari 13 peraih Nobel dan 10 tokoh lintas profesi yang mengirim surat terbuka ke Dewan Keamanan PBB.
Tapi ya jangan heran, kalau ada peraih Nobel Perdamaian yang ternyata tidak sesuai dengan harapan kita. Sebelumnya, ada Barack Obama.
Mantan presiden Amerika Serikat yang dikenal sangat kharismatik itu pernah meraih Nobel Perdamaian pada 2009 atas upayanya memperkuat diplomasi internasional dan kerja sama antarbangsa.
Namun, nyatanya, presiden Amerika penyuka sate dan bakso itu pernah membuat kebijakan yang justru menghancurkan diplomasi internasional dan kerja sama antarbangsa.
Pada 2016, menjelang akhir masa jabatannya, Obama pernah mengeluarkan kebijakan menjatuhkan lebih banyak bom ketimbang tahun-tahun sebelumnya. Amerika menjatuhkan 26.171 bom di tujuh negara.
Sebanyak 12.000 bom dijatuhkan di Irak dan Suriah. Dalihnya melawan ISIS. Lalu, 1.337 bom dijatuhkan di Afganistan, 500 bom di Libya, 54 bom di Yaman, 14 bom di Somalia, dan 3 bom di Pakistan. Negara-negara tersebut umumnya terjadi perang saudara dan konflik berkepanjangan.
Namun, apakah dalih tersebut bisa dibenarkan? Apakah memang hanya ingin menghentikan perang saudara? Oke, baiklah. Kita tinggalkan sejenak dunia internasional. Mari kita melihat negeri sendiri.
Indonesia memang belum punya tokoh yang meraih Nobel Perdamaian sejak penghargaan itu diberikan kepada Henry Dunant asal Swiss pada 1901 atas perannya mendirikan Komite Palang Merah Internasional.
Namun, ada sejumlah orang yang meraih penghargaan bergengsi, tapi sama-sama tidak konsisten. Misalnya, Anniesa Hasibuan.
Desainer dan bos First Travel itu sebelumnya dianugerahi gelar Inspiring Women 2017 oleh Forbes Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, ia tampil sederet dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani, anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti, dan pengusaha kosmetik Nurhayati Subakat.
Forbes kemudian mencoret nama Anniesa dari daftar tadi dan menarik penghargaan tersebut, lantaran Anniesa menjadi tersangka kasus dugaan penipuan terhadap calon jemaah umrah yang jumlahnya naudzubillah. Ia yang semula dipercaya umat, tapi lagi-lagi tak sesuai harapan.
Selain itu, ada Jonru Ginting. Kalian warganet pasti sudah akrab dengan ketenaran nama pria yang kerap disebut aktivis media sosial ini. Ia pernah menjadi jawara Internet Sehat Blog Award oleh Indonesian ICT Partnership Association pada 2009.
Blognya yang kerap menyebar motivasi dianggap sebagai super blog. Namun, sayang, kata Jonru, blog itu sudah diretas orang menjelang Pemilu 2014. Mungkin saja blog itu berisi motivasi berkelas ala Jonru, tapi dalam fanpageFacebooknya Jonru dituding menyebar fitnah dan ujaran kebencian.
Akibatnya, ia dilaporkan ke polisi oleh pengacara bernama Muannas Al Aidid. Muannas menilai, status-status Jonru di media sosial berbahaya dan bisa memecah belah bangsa.
Lalu, apakah Indonesian ICT Partnership Association perlu mencoret nama Jonru dari daftar jawara Internet Sehat Blog Award, layaknya Forbes mencoret Anniesa Hasibuan dari daftar Inspiring Women 2017?
Apakah Aung San Suu Kyi, termasuk Barack Obama, juga harus dicoret dari daftar penerima Nobel Perdamaian?
Yang pasti, saya sudah mencoret nama-nama mantan dari daftar ‘penghargaan’ yang telah saya berikan kepadanya. Kalau anda?
Poker online Terpercaya & Terbesar di Asia : Domino99 , Agen BandarQ , BandarQ Online
No comments:
Post a Comment